SEJARAH PERKEMBANGAN SEKOLAH MINGGU
Kalau kita menelusuri kembali ke
jaman Perjanjian Lama, maka sebenarnya Alkitab telah memberikan perhatian yang
serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada masa itu pembinaan rohani anak
dilakukan sepenuhnya dalam keluarga (Ulangan 6:4-7).
Sejak sebelum usia 5 tahun anak telah dididik oleh orang tuanya untuk mengenal
Allah Yahweh. Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan
menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan
bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah sinagoge dimana
mereka dapat belajar Firman Tuhan kembali, termasuk diantara mereka adalah anak-anak
kecil. Orangtua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah 5 tahun ke
sekolah di sinagoge. Di sana mereka dididik oleh guru-guru sukarelawan yang
mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25
orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru adalah
fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Ketika orang-orang Yahudi yang
dibuang di Babilonia diijinkan pulang ke Palestina, maka mereka meneruskan
tradisi membuka tempat ibadah sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian
Baru. Tuhan Yesus ketika masih kecil, juga sama seperti anak-anak Yahudi yang
lain, menerima pengajaran Taurat di sinagoge. Dan pada usia 12 tahun Yesus
sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik
anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1 Tim 3:15)
dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik mereka perlahan-lahan tidak
lagi dipusatkan di sinagoge tetapi di gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul.
Tetapi sayang sekali pada Abad
Pertengahan gereja tidak lagi memelihara kebiasaan mendidik anak seperti
abad-abad sebelumnya. Bahkan orang dewasapun tidak lagi mendapatkan pengajaran
Firman Tuhan dengan baik. Barulah pada masa Reformasi, gerakan pengembalian
kepada pengajaran Alkitab dibangkitkan lagi, dan pendidikan terhadap anak-anak
mulai digalakkan kembali, khususnya melalui kelas Katekismus. Untuk itu hanya
para pekerja gereja sajalah yang diijinkan untuk terlibat dalam pembinaan.
Namun sedikitnya orang yang terlatih untuk mengajarkan kelas Katekismus ini
menyebabkan pelayanan anak ini menjadi mundur bahkan perlahan-lahan tidak lagi
menjadi perhatian utama gereja dan diadakan hanya sebagai prasyarat bagi
anak-anak yang akan menerima konfirmasi (baptis sidi).
Barulah pada abad 18, seorang
wartawan Inggris bernama Robert Raikes, digerakkan oleh rasa cinta kepada
anak-anak, membuat suatu gerakan yang akhirnya mendorong lahirnya pelayanan
Sekolah Minggu! Pada masa akhir abad 18, Inggris sedang dilanda suatu krisis
ekonomi yang sangat parah. Setiap orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, bahkan anak-anak dipaksa bekerja untuk bisa mendapatkan penghidupan
yang layak. Pada saat itu wartawan Robert Raikes, mendapat tugas untuk meliput
berita tentang anak-anak gelandangan di Gloucester bagi sebuah harian (koran)
milik ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat memprihatinkan sebab anak-anak
gelandangan itu harus bekerja dari hari Senin sampai Sabtu.
Apa yang dilakukan anak-anak pada
hari Minggu itu? Hari Minggu adalah satu-satunya hari libur mereka sehingga
mereka habiskan untuk bersenang-senang, tapi karena mereka tidak pernah
mendapat pendidikan (karena tidak bersekolah), anak-anak itu menjadi sangat
liar, mereka minum-minum dan melakukan berbagai macam kenakalan dan kejahatan.
Melihat keadaan itu Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia dengan
beberapa teman mencoba melakukan pendekatan kepada anak-anak tersebut dengan
mengundang mereka berkumpul di sebuah dapur milik Ibu Meredith di kota Scooty
Alley. Di sana selain anak-anak mendapat makanan, mereka juga diajarkan sopan
santun, membaca dan menulis. Tapi hal paling indah yang diterima anak-anak di
situ adalah mereka mendapat kesempatan mendengar cerita-cerita Alkitab. Pada
mulanya pelayanan ini sangat tidak mudah.
Banyak anak-anak itu datang dengan
keadaan yang sangat bau dan kotor. Namun dengan cara pendidikan yang disiplin,
kadang dengan pukulan rotan, tapi dilakukan dengan penuh cinta kasih, anak-anak
itu akhirnya belajar untuk mau dididik dengan baik, sehingga semakin lama
semakin banyak anak datang ke dapur Ibu Meredith. Semakin banyak juga guru
disewa untuk mengajar mereka, bukan hanya untuk belajar membaca dan menulis
tapi juga Firman Tuhan. Perjuangan yang sangat sulit tapi melegakan. Dan dalam
waktu 4 tahun sekolah minggu itu semakin berkembang bahkan ke kota-kota lain di
Inggris, dan jumlah anak-anak yang datang ke sekolah hari minggu terhitung
mencapai 250.000 anak di seluruh Inggris.
Mula-mula, gereja tidak mengakui
kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes ini. Tetapi
karena kegigihannya menulis ke berbagai publikasi dan membagikan visi pelayanan
anak ke masyarakat Kristen di Inggris, dan juga atas bantuan John Wesley
(pendiri gereja Methodis), akhirnya kehadiran Sekolah Minggu diterima oleh
gereja. Mula-mula oleh gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja protestan lain.
Ketika Robert Raikes meninggal dunia thn. 1811, jumlah anak yang hadir di
Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Dari
pelayanan anak ini, Inggris tidak hanya diselamatkan dari revolusi sosial, tapi
juga diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan.
Gerakan Sekolah Minggu yang dimulai
di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk
negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika. Dan dari para misionaris yang pergi
melayani ke negara-negara Asia, akhirnya pelayanan anak melalui Sekolah Minggu
juga hadir di Indonesia.
Sumber:
Ruth Lautfer, Pedoman Pelayan Anak,
halaman 191 - 194, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, Malang, 1993.
Mavis L. Anderson, Pola Mengajar Sekolah
Minggu, halaman 5 - 9, Yayasan Kalam
Hidup, Bandung, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar